Taman Karya Madya Ekonomi

PROBLEM SOLVING ala KI HADJAR DEWANTARA

01/08/2009 13:02

(Dimuat pada Harian Kedaulatan Rakyat, Tanggal 3 April 2008)

    Hidup manusia sangat erat dengan stres dan selalu seiring seperjalanan dengan konflik, kontradiksi, perselisihan, dilema, kekecewaan dan sebagainya.
Orang yang pesimis dalam menghadapi kemelut hidup sering bersikap “nelongso” (renjana), menyesali nasib, dendam, bahkan mempertanyakan (protes?) kepada Tuhannya tanpa berdoa/zikir/wirid. Sikap demikian ini tentu bukan jalan keluar yang memberi harapan. Sikap orang yang optimis dalam menghadapi permasalahan akan bertanya “ bagaimana cara penyelesaiannya” yaitu berupaya mencari solusi menuju penyelesaian sesuai yang diharapkan. Tuhan selalu memberi cobaan, namun Tuhan juga memberi batasan bahwa cobaan itu masih mampu diatasi umatnya asalkan mau ikhtiar dengan maksimal.
    Dalam mencari solusi (problem solving) masing-masing individu atau golongan masyarakat mempunyai perbedaan yang spesifik. Ada yang dengan tenang-tenang namun tercapai penyelesaian masalah dengan baik. Ada yang menyelesaikan masalah secara fisik atau secara terbuka supaya didengar banyak orang bahkan mengerahkan masa agar bisa dipublikasikan. Ada yang langsung melalui jalur legal dengan pengacara, dengan yang berwajib/polisi. Ada yang mengatasnamakan HAK Azasi Manusia, tetapi mereka lupa bahwa yang harus diutamakan adalah KEWAJIBAN Azasi Manusia. Hak dan kewajiban ini harus dikelola serasi, selaras dan seimbang dalam masyarakat (PB ps 7 ayat 4).
     Ki Hadjar Dewantara mendirikan Tamansiswa dengan tujuan tercapainya masyarakat tertib dan damai (orde en vrede) serta keluarga salam dan bahagia. Ketertiban atas nama kadaver disiplin ala diktator tentu tidak menimbulkan kedamaian, demikian pula kedamaian tanpa ketertiban tentu akan membahayakan perdamaian itu sendiri. Guna mencapai tujuan itu Ki Hadjar Dewantara memberikan problem solving yaitu NENG-NING-NUNG-NANG, dengan tujuan mengatasi permasalahan secara kondusif sesuai warisan budaya leluhur.
Dalam menghadapi tekanan penjajah Belanda saat itu Ki Hadjar Dewantara sering ditekan dengan interogasi, masuk penjara, dibuang ke seberang laut ke Nederland, ke Merauke, beliau selalu “legowo” namun tetap kuat berpegang pada prinsip perjuangan. Perlawanan terhadap politik penjajah sering dilakukan Ki Hadjar Dewantara dengan menggunakan kepiawaiannya sebagai seorang jurnalis yaitu dengan tulisan yang tepat mengenai sasaran, misalnya saat menghadapi ordonansi sekolah liar (Onderwijs Ordonantie) dan peringatan HUT Ratu Belanda. Inilah realisasi dari konsep problem solving ala Tamansiswa tanpa hingar bingar kekuatan fisik. Lain lagi saat menghadapi penjajah fascis Jepang beliau menerapkan strategi “ngenthung”  dalam  Taman Tani yaitu diam tetapi melakukan konsolidasi agar pada saatnya bisa menetas- terbang menggapai cita-cita. Dalam ajang tekanan penindasan itu beliau selalu menerapkan kiat Meneng-Wening-Hanung-Menang (neng-ning-nung-nang).
Dengan kiat tersebut Ki Hadjar Dewantara selalu mendapat dukungan dari masyarakat bahkan banyak warga Belanda yang simpati dengan cara perjuangan (problem solving) beliau. Saat berada di interniran negeri Belanda, masyarakat kulit putih yang simpati dengan beliau mengumpulkan uang untuk diserahkan kepada beliau. Namun dengan sopan beliau menolak walau saat itu belum punya dana cukup, bahkan kepulangan ke tanah air  tertunda  selama  2 tahun.
Uraian problem solving ala Ki Hadjar Dewantara tersebut adalah :
NENG berarti MENENG yaitu tercapainya ketentraman lahir yang dapat dirasakan oleh suasana fisik antara lain tidak gaduh, tidak emosi, tidak membentak, tidak judes, tidak ngambek, tidak mencoret-coret tulisan di tembok, tidak melampiaskan dendam. Apabila suasana NENG ini bisa dicapai, maka orang sekeliling akan simpati dengan kita. Sebaliknya dengan bersikap gaduh misalnya membentak, teriak, emosi, ketus, demonstrasi hingga jalanan macet, maka orang tidak akan simpati kepada kita. Apabila kita dalam permasalahan, jagalah suasana fisik (neng) tadi tetap kondusif, tenang, wajar selanjutnya tidak pula menyulut emosi pihak lain yang tidak perlu.
NING berarti WENING yaitu tercapainya ketentraman batin yang dirasakan oleh rasa kalbu dan nurani yang jernih. Untuk mencapai rasa wening di hati orang sering beriktifar “astagfirullah” atau “puji Tuhan”. Kemudian berupayalah berpikir yang rasional tidak emosional, cara menyampaikan masalah dengan bahasa yang logik dan runtut sehingga akan menarik simpati orang lain. Suasana wening ini juga lebih kondusif memberi ide-ide penyelesaian masalah sesuai dengan nurani kemanusiaan dalam ajaran agama.
NUNG berarti HANUNG (besar) yaitu kebesaran jiwa dan luasnya wawasan, namun dapat pula dengan konotasi kebesaran/kekuatan raga (fisik).
Kebesaran jiwa tercermin dengan sikap “legowo”, menerima kritikan orang lain, tidak berpandangan sempit, tidak fanatik, tidak hypokrit, tidak apriori dll.
Sikap Hanung juga berkonotasi bersikap optimis tidak pesimis, yaitu selalu memandang hari depan dengan penuh harapan dan jiwa besar. Sikap Hanung mementingkan tujuan hari depan dan tidak mengungkit aib masa lalu (jadul).
“Mikul duwur mendhem jero” berarti melihat orang lain (almarhum) dari jasanya daripada kekurangannya. Dengan kebesaran jiwa akan tercapai kekuatan apresiatif dari masyarakat, selanjutnya mencapai kebesaran wibawa/kharisma, mendapat dukungan dari komunitasnya, selanjutnya kekuatan secara fisik/masa akan tercapai.

NANG berarti MENANG yaitu kemenangan moral dan atau kemenangan fisik. Kemenangan yang dicapai setelah NENG-NING-NUNG tidak menyakitkan hati pihak seberang. Hal ini tercapai karena adanya suasana “menang tanpo ngasorake” yaitu kemenangan yang tidak dengan menghinakan pihak lain.
Menang disini konotasinya bisa menang terhadap kesulitan, ujian, penindasan, penyelewengan, penghinaan, kebodohan, kemiskinan, godaan, kemusrikan, kemungkaran, kebatilan, kezaliman ataupun mengungguli taktik lawan. Lebih utama lagi bila bisa “Nglurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake”
Nglurug tanpo bolo adalah pelaksanaan konsep NENG, yaitu maju ke medan laga perjuangan tanpa pengerahan masa/fisik. Artinya kita menyelesaikan masalah secara konseptual dengan adu argumentasi tidak secara fisik pengerahan masa apalagi tawur, teror ataupun adu kekuatan. Hasil kemenangan seperti ini tidak dengan menghinakan atau menyakitkan hati pihak lain dan menghindari korban lawan dan kawan dari aspek lahir maupun batin.
Nglurug tanpo bolo sering didapati dalam epos pewayangan, dimana seorang ksatriya nglurug (menantang berperang) seorang diri walau dikeroyok banyak bala musuh. Dengan kesaktian dan diplomasinya maka ksatriya tersebut dapat merebut kemenangan dengan jumlah korban minimal.
Bolehlah kita berandai, bila konflik abadi di Timur Tengah sejak perjanjian lama mungkin bisa diselesaikan dengan neng-ning-nung-nang, siapa tahu.
Ada pula yang mengartikan “nang” sebagai WENANG yaitu suatu kekuasaan ataupun jabatan yang dapat diraih secara kondusif dan persuasif melalui proses neng-ning-nung dengan pencapaian “nang” secara demokratis.
     Demikianlah neng-ning-nung-nang menjadi kiat dalam mencapai cita-cita Tamansiswa menuju masyarakat tertib dan damai, keluarga salam dan bahagia.
Dua pihak yang bersengketa, dapat menyelesaikan permasalahan dengan neng-ning-nung yaitu secara intensif mencari sinkronisasi solusi penyelesaian misalnya diskusi dan perundingan. Hasil yang didapat akan menguntungkan kedua belah pihak, solusi semacam ini disebut pula “win-win solution”.
Dalam win-win solution bukan semata mencari menang (win) secara pribadi/sepihak, namun dengan toleransi tepo sliro yang didasari watak “nung” (hanung) yaitu dalam beberapa hal legowo “mengalah” atau mundur selangkah untuk maju sepuluh langkah. Mengalah dengan kata lain memberi kesempatan pihak lain untuk merasa menang. Tentu hal ini hanya bisa dicapai melalui “neng” dan “ning”, kemudian setelah “nung” kita akan “nang” yaitu merasakan kemenangan secara bersama.
Itulah goal setting “win-win solution” yang searah dengan tujuan kiat neng-ning-nung-nang, problem solving ala Ki Hadjar Dewantara (1922).